Minggu, 10 Januari 2010

kasus century

Bailout : Resep memabukkan ala kapitalis
Untuk anggota SHARIA ECONOMIC FORUM UNIV. GUNADARMA


Oleh: Ahmad Jaelani

Pengantar
Kasus Bank Century masih menjadi isu hangat di masyarakat dan pemberitaan media massa. Namun bagaimana ending dari ‘drama’ ini belum terlihat secara nyata, apakah happy ending atau sebaliknya. Di sisi lain, perjalanan pengusutan tuntas yang diminta masyarakat Indonesia terhadap para perampok uang rakyat 6,7 Triliun rupanya sudah mulai menampakan kejenuhan. Berbelit-belitnya hukum di Indonesia dengan pasal-pasal yang membuat pusing tujuh keliling dan saling tumpang tindih membuat penyelesaian kasus Century gate ini berlarut-larut.
Di sisi lain, kepolisian, kejaksaan, KPK, pansus, LPS, menteri terkait, bahkan presiden dan wakilnya ditenggarai memilliki potensi ikut ‘menikmati’ dana tersebut. Maka, kecurigaan pengusutan kasus Bank Century hanya sebagai formalitas prosedural hukum dengan skenario yang disiapkan mungkin saja dilakukan di negeri yang sudah kadung terbiasa dengan korupsi. Riak-riak penentangan, penuntutan terhadap kasus ini pun hanya menambah kecurigaan sebagai upaya mencari bargaining politik untuk kepentingan ‘rakyat’ dekatnya saja. Hal ini bisa dilihat dari solusi yang ditawarkan hanya sekedar ganti rezim dan orang. Disinilah rupanya beberapa pengamat ekonomi dan para aktivis melihat bahwa persoalan Bank Century adalah karena moral hazard para pemimpin negeri dan pejabatnya an sich. Sedikit yang mampu menembus kepada akar permasalahannya.
Bailout
Bailout dalam istilah ekonomi dan keuangan digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sebuah entitas yang bangkrut atau hampir bangkrut, seperti perusahaan atau sebuah bank diberikan suatu injeksi dana segar yang likuid, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Dalam pengertian lain adalah bagaimana Negara harus menyuntikan dana agar CAR sebuah bank kembali normal (8% kebijakan BI saat itu). Kebijakan bailout sendiri bukanlah kebijakan sembarangan asal buat, namun sebuah kebijakan hasil godokan tiga lembaga keuangan dunia, yaitu IMF, World Bank dan Departemen Keuangan Amerika Serikat dalam Washington Consensus.
Ibu Sri Mulyani sendiri dan Bapak Boediono ketika diperiksa oleh pansus DPR mengatakan bahwa tidak ada yang salah dalam pengambilan kebijakan bailout tersebut. Ibu Sri Mulyani mengatakan "Kalau Century tidak ditutup, biayanya lebih mahal dari Rp 6,7 triliun akibat timbulnya kepanikan di masyarakat dan lain-lain. Jadi jika sekarang banyak yang memikirkan dana Rp 6,7 triliun itu, yang saya pikirkan saat itu adalah dana masyarakat di perbankan sebesar Rp 2.000 triliun yang harus dipertahankan supaya tidak ada peralihan," (detik.com).
Hal itu pun ditegaskan oleh Mantan Gubernur BI Bapak Boediono yang menyatakan bahwa penyelamatan Bank Century pada November 2008 lalu dilakukan karena kondisi perekonomian yang sangat mengkhawatirkan. Dalam situasi krisis seperti itu, bank yang kecil harus diselamatkan karena bisa memicu 'kebakaran besar'. "Kurs melonjak-lonjak, cadangan devisa turun dalam waktu pendek dalam jumlah besar. Ini sangat mengkhawatirkan. Bank-bank stop meminjamkanm bank bisa ambruk setiap saat, rumor dimana-mana. Ini mengingatkan kita pada keadaan tahun 1997-1998," urai Bapak Boediono. Ia menyampaikan hal itu saat memberikan keterangan di depan Pansus Bank Century di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (22/12/2009).
Kejagung pun menanggapi kebijakan tersebut tidaklah melanggar hukum, “Pengucuran dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) atas rekomendasi KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) belum terlihat sebagai perbuatan melawan hukum dan merugikan negara,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat [23/10] . Dikatakannya, pertimbangan pengucuran dana tersebut ada landasan pijakannya, yakni, Perppu Nomor 4 tahun 2008, kemudian pengertian gagal yang berdampak sistemik hingga perlu dikucurkan dan “bailout”, terhadap perbankan paramaternya tidak diatur.Tentunya, kata dia, soal berdampak sistemik itu yang mengetahui hanya regulatornya.
Jadi, terlepas dari kecurangan, penyalahgunaan wewenang dan otak-atik peraturan, kebijakan bailout dalam Negara kapitalis adalah suatu kewajaran karena memang begitulah rumusannya.
Akar masalah
Sebuah bank ditenggarai akan berdampak sistemik bermula dari kekalahannya di pasar keuangan yang disebabkan opini yang dikembangkan. Otomatis hal ini memicu terguncangnya psikologi pasar dan berduyun-duyun para nasabah akan menarik uangnya (rush) di bank yang dikhawatirkan bangkrut. Ditambah praktek ribawi yang dilakoni pihak bank tentunya menambah makin buruknya kondisi perbankan karena harus mengembalikan dana nasabah, membayar hutang berikut bunganya.
Allah swt sudah mewanti-wanti umat manusia dengan firmannya:
“Orang orang yang memakan Riba’, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan dengan sentuhan kepadanya, yang demikian itu karena mereka berkata, “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’ “maka barang siapa menerima pelajaran dari Tuhan-nya, lalu berhenti (melakukan riba’) maka baginya apa yang telah lalu dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Barang siapa kembali (melakukanya), mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya” (Albaqarah : 275).
Dua pilar ekonomi kapitalis yaitu perbankan dan sector non-real inilah biang keladi terjadinya kasus bank century. Dalam rumusan kapitalis jika dua sector ini mengalami kegoncangan maka Negara harus melakukan kebijakan penyelamatan salah satunya dengan bailout. Kasus BLBI, bank Bali dan diantaranya kasus bank century ini menyisakan penyelesaian yang tidak tuntas bahkan keberpihakan Negara hanya kepada konglomerat tampak sangat jelas.
Solusi alternative
Sudah sangat jelas bahwa akar masalah dari krisis-krisis di Indonesia adalah akibat diterapkannya ideology kapitalis. Ketika dari akarnya sudah bermasalah, maka solusi yang tepat adalah bagaimana mengganti akar yang sudah busuk tersebut. Islam! Ya ideology Islam memiliki seperangkat aturan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Sistem ekonomi Islam mengefektifkan sector real dan kejelasan pembagian hak kepemilikan. Karena di sector real inilah sebenarnya aktivitas transaksi sesungguhnya terjadi, semua kalangan bisa melakukan aktivitas ini baik rakyat biasa ataupun orang kaya, tentu dengan aturan-aturan dan adab-adab yang telah diatur dalam Islam.
Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil (lihat al-Baqarah: 275 di atas). Tidak ada dikotomi antara sektor riil dengan sektor moneter. Sebab sektor moneter dalam Islam bukan seperti sektor moneter Kapitalis yang isinya sektor maya (virtual sector). Jika tidak ada sector maya dalam Islam, maka gonjang ganjing krisis financial tidak akan pernah ada, jika kegoncangan dalam sector keuangan tidak ada, tidak aka nada perbangkan yang membutuhkan kebijakan bailout. Disisi lain, peran lembaga keuangan dalam Islam tidak sama dengan fungsi perbankan dalam Negara kapitalis.
Islam memandang kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju. Hanya saja hukum-hukum tentang kepemilikan, produk (barang/jasa), dan transaksi dalam perekonomian Islam berbeda dengan Kapitalis.
Individu diperbolehkan memperoleh kepemilikan sesuai dengan karakter harta yang memang dapat dimiliki oleh individu. Hal ini merupakan pengakuan Islam akan fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan muslim yang meninggal karena mempertahankan hartanya secara haq termasuk mati syahid.
Kepemilikan individu dibatasi oleh kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Individu tidak boleh memiliki harta yang terkatagori harta milik negara dan harta milik umum. Tanpa aturan kepemilikan Islam, pertumbuhan di sektor riil tidak memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil. Sebab peningkatan hasil-hasil ekonomi dan penguasaan sumber daya terkonsentrasi di tangan pemilik modal. Sebaliknya semakin digenjot pertumbuhan ekonomi, eksploitasi terhadap masyarakat dan sumber daya alam semakin besar.
Ketimpangan dan masalah distribusi kekayaan merupakan penyakit kronis ekonomi Kapitalis. Menurut Human Development Report 2007, 20% penduduk paling kaya menghasilkan 3/4 pendapatan dunia, sedangkan 40% penduduk paling miskin hanya menghasilkan 5% pendapatan dunia. Lebih dari 20% penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar US$ 1,25 per hari (Globalissues.org, Poverty Facts and Stats). Dalam laporan FAO, pada 2009 diprediksi dari 6,5 milyar penduduk dunia 963 juta di antaranya kelaparan (Kompas, 10/12/2008). Tahun lalu 31,5 juta rakyat Amerika hidup dengan bantuan kupon makan dari pemerintah (allheadlinenews.com, 18/12/2008).
Sistem ekonomi Islam tentunya tidak akan mungkin berjalan secara nyata jika kebijakan Negara tidak berpihak kepada Islam. Pertanyaannya, apakah mungkin Negara kapitalis akan berpihak kepada system ekonomi Islam yang secara diametral sangat bertentangan dengan system ekonomi kapitalis?. Oleh karena itu, menyelaraskan system ekonomi Islam dengan system kapitalis akan mengebiri Islam itu sendiri, dan berupaya menerapkan system ekonomi Islam tanpa didukung dengan system politik Islam ibarat mimpi di siang bolong yang tidak akan pernah kesampaian.
Upaya dari para aktivis, intelektual, masyarakat umum untuk mengembalikan system perpolitikan Islam yaitu Khilafah Islamiyah dengan menerapkan syariah Islam menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Penundaan terhadap upaya ini, selain akan membuat rakyat semakin menderita juga termasuk kemaksiatan yang besar.

Wallahu ‘alam bis showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar